Minggu, 22 Januari 2012

Pelacuran di Surabaya Dari Tanjung Perak Hingga ke Dolly

Pelacuran merupakan salah satu bentuk penyakit masyarakat, fenomena sosial yang senantiasa hadir dan berkembang di setiap putaran roda zaman dan keadaan. Keberadaan pelacuran tidak pernah selesai dikupas, apalagi dihapuskan. Pelacuran ini selain meresahkan masyarakat juga dapat mematikan karena merekalah yang ditengarai menyebarkan penyakit AIDS akibat perilaku seks bebas tanpa pengaman. Walaupun demikian, dunia pelacuran setidaknya bisa mengungkapkan banyak hal tentang sisi gelap kehidupan manusia, tidak hanya menyangkut hubungan kelamin dan mereka yang terlibat di dalamnya, tetapi juga pihak-pihak yang secara sembunyi-sembunyi ikut menikmati dan mengambil keutungan dari keberadaan pelacuran. Bentuk dan perilaku prostitusi menurut berbagai pendapat meningkat drastis pada abad ke-19 terutama setelah 1870 sampai menjelang awal abad ke-20 ketika ekonomi kolonial dibuka untuk modal swasta.
Surabaya yang merupakan salah satu kota dengan perkembangan yang pesat dan merupakan kota terbesar kedua di hindia belanda yang sekaligus berperan juga sebagai kota pelabuhan serta kota perdagangan merupakan salah satu kota yang terkenal akan pelacuran. Dimana dikota ini banyak diketemukan lokasi – lokasi yang dijadikan sebagai tempat bertransaksi seks. Ini tidak terlepas dari kedudukan dan posisinya yang penting dan cukup strategis, Surabaya berkembang dengan pesat dan dinamis, terutama dari segi ekonomi. Perkembangan perekonomian yang pesat di Surabaya, terutama karena ditunjang oleh peran pelabuhan Tanjung Perak sebagai pelabuhan perdagangan yang menjadi pusat perdagangan di Indonesia timur, yang berhasil menggeser peran pelabuhan terdahulu yang terletak di sedayu, gresik.
Munculnya kawasan prostitusi pertama di Surabaya yaitu di daerah yang menjadi pusat keramaian yaitu pelabuhan dan stasiun. Kawasan prostitusi pertama adalah Kampong Bandaran, yang menurut catatan resmi kota Surabaya bahwa pada tahun 1864 terdapat 288 perempuan yang mempunyai profesi profesi pelacur dibawah pengawasan 18 pemilik rumah bordil. Angka ini meragukan karena dianggap terlalu kecil, dan mungkin hanya menunjukkan banyaknya pekerja seks yang terdaftar secara resmi. Antara lain para pelacur di sekitar pelabuhan. Mungkin dari daerah inilah muncul sebuah parikan:
            Tanjung Perak Mas, Kapale Kobong, Monggo Pinarak Mas, Kamare Kosong”
Selain kampong bandaran salah satu tempat prostitusi yang ada di sekitar tanjung perak yaitu bangunsari dan kremil, nama terakhir merupakan tempat prostitusi yang masih bertahan sampai sekarang..
Selain di dekat pelabuhan kawasan prostitusi di Surabaya juga muncul di dekat stasiun. Salah satunya yaitu stasiun semut. Stasiun ini disebut stasiun semut karena terletak di kawasan Semut kali, atau karena berjubelnya orang ketika kereta saat berangkat atau tiba , sampai menyemut bagaikan semut. Dari cerita local kata semut berasal dari simut yang artinya perahu barang. Dulu di sebelah stasiun menjadi tempat tambatan perahu barang. Selain stasiun semut kawasan prostitusi juga muncul di stasiun Tandes, yang dulunya merupakan sebuah stasiun layaknya stasiun semut hanya ukurannya lebih kecil. Beberapa lokasi kompleks pelacuran tersebut sampai sekarang masih beroperasi, walaupun keberadaan tempat-tempat penginapan atau hotel-hotel di sekitar stasiun kereta api juga telah berubah. Pemerintah daerah menetapkan tiga daerah lokalisasi di tiga tempat tersebut sebagai upaya untuk mengendalikan aktivitas pelacuran dan penyebaran penyakit kelamin. Selain itu, para pelacur dilarang beroperasi di luar lokalisasi tersebut. Semua pelacur di lokalisasi ini terdaftar dan diharuskan mengikuti pemeriksaan kesehatan secara berkala (Ingleson dalam Hull; 1997:6)
Adapun hal – hal yang melatar belakangi munculnya prostitusi, yaitu: dinamika penduduk, ekonomi, industrialisasi dan juga penerapan sistem pendidikan Barat yang telah merebak di perkotaan semakin mempercepat lajunya proses modernisasi yang merubah secara structural lapisan sosial tertentu di masyarakat Jawa awal abad ke-20, tentu saja hal ini membawa implikasi secara tidak langsung pada gaya hidup, termasuk perubahan perilaku seksualitas. Kenyataannya rangkaian proses perubahan-perubahan yang berkembang telah mereduksi struktur masyarakat agraris, feodalisme, tradisional menuju masyarakat perkotaan yang bersifat modern.
Selain itu munculnya peraturan pemerintah tahun 1852 yang menyetujui komersialisasi industri seks tetapi dengan serangkaian aturan untuk menghindari tindakan kejahatan yang timbul akibat aktivitas prostitusi ini. Apa yang dikenal dengan wanita tuna susila (WTS) sekarang ini, pada waktu itu disebut sebagai “wanita publik” menurut peraturan yang dikeluarkan tahun 1852. Dalam peraturan tersebut, wanita publik diawasi secara langsung dan secara ketat oleh polisi (pasal 2). Semua wanita publik yang terdaftar diwajibkan memiliki kartu kesehatan dan secara rutin (setiap minggu) menjalani pemeriksaan kesehatan untuk mendeteksi adanya penyakit syphilis atau penyakit kelamin lainnya (pasal 8, 9, 10, 11). Dua dekade kemudian tanggung jawab pengawasan rumah bordil dialihkan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Peraturan pemerintah tahun 1852 secara efektif dicabut digantikan dengan peraturan penguasa daerah setempat. Pengalihan tanggung jawab pengawasan rumah bordil ini menghendaki upaya tertentu agar setiap lingkungan permukiman membuat sendiri peraturan untuk mengendalikan aktivitas prostitusi setempat.
Sebagai kota kedua terbesar di Indonesia setelah Jakarta, dan sebagai jalur perdagangan utama di Indonesia Timur, kota Surabaya pada saat penjajahan Belanda berkembang sebagai kota pelabuhan terkemuka, pangkalan angkatan laut, pangkalan para tentara garnisun dan sebagai daerah tujuan akhir lintasan kereta api. Selain itu dengan dibukanya pelabuhan Tanjung Perak, berakibat terjadinya mobilitas tenaga kerja secara besar-besaran yang sebagian besar adalah laki-laki, yang memerlukan adanya pemenuhan seksual. Akibat dari perkembangan kota ini, pada abad ke-19 Surabaya menjadi terkenal karena aktivitas pelacurannya. Kondisi tersebut juga dinyatakan Ingleson dalam tulisannya. Banyak kapal barang dan kapal angkatan laut yang memasuki pelabuhan dengan segera dikelilingi perahu – perahu kecil berisi para pelacur setempat yang mencari pelanggan baru. Hingga pertengahan abad ke-19 para pelacur diperbolehkan naik ke kapal milik angkatan laut dengan pertimbangan bahwa lebik baik mengawasi awak kapal yang mempunyai aktivitas pribadi di dalam kapal daripada membiarkan merekaberkeliaran di dalam kota untuk mencari para wanita penghibur.
Di Surabaya saat itu ada 8 kelas prostitusi yang berbeda, antara lainnya; pelacuran yang ada di cafe-cafe kecil dekat pelabuhan dan di kota pelabuhan lama; pelacur-pelacur jalanan yang berasal dari kampung setempat; rumah-rumah pelacuran di pusat kota dimiliki oleh orang China dan Jepang; lokalisasi yang di kampung-kampung di pinggiran kota; pelayanan khusus oleh pembantu rumah tangga wanita setempat; pelayanan tersembunyi wanita Belanda yang terkekang di rumah terhadap laki – laki muda yang belum beristri; prostitusi wanita Eropa di rumah-rumah bordil yang terorganisir di daerah tertentu; prostitusi homoseksual dan pejantanan. Sementara tarif harga bagi wanita penghibur di atas, berbeda satu sama lainya; untuk pelacur pribumi yang di perkampungan dan di jalanan lebih kurang 1 guilder. Untuk rumah bordil besar yang dijalankan orang China, wanitanya berasal dari keturunan China tarifnya 2 guilders 50 cents. Lebih tinggi jika dibandingkan pelacur pribumi.
Seiring dengan berjalannya waktu kawasan itu berpindah ke tempat lain. Perpindahan kawasan prostitusi disebabkan karena mereka merupakan golongan yang tidak di sukai sebagian besar masyarakat, Mereka sejak semula mengisolasi diri dari masyarakat umum dengan membangun atau menemukan kampong sendiri. Setelah  kampung lama itu menjadi “rejo, resmi, sopan”, mereka bermigrasi dan mencari atau babat alas lagi. Teori isolasi menjelaskan kenapa mereka berpindah – pindah mencari lahan kosong atau baru, yang jauh dari keramaian. Awalnya mereka berpindah ke daerah Kapasan, Kapasari, kemudian ketimur, Kampung Sawah yang sekarang dikenal sebagai daerah Tambak Rejo. Setelah itu bergeser lagi ke daerah selatan, yaitu Jagir dan Pasar Lama Wonokromo. Dan terusir lagi naik ke utara-barat, daerah Kembang Kuning, Girilaya, Banyu Urip, Kupang, Pande Giling, Pasar Kembang. Dan terakhir setelah pemerintah menutup pekuburan lama, (pecinan) yang dbeli oleh Tante Dolly van de Mart pada tahun 1967 untuk membuka pelacuran di Jarak, Putat dan Sidokumpul. Daerah Kembang Kuning, Girilaya, Banyu Urip, Kupang, Pande Giling, Pasar Kembang langsung pindah menempati daerah tersebut. Tempat Bordil pertama yang didirikan oleh tante Dolly kini dikenal dengan nama Wisma “T”, “Sul NM” dan “MR”. Kawasan ini seiring berjalannya waktu berkembang sangat pesat. Kawasan ini merupakan kawasan pelacuran terbesar di Indonesia, bahkan terbesar di asia tenggara yang mengalahkan Phat Pong di Bangkok, Thailand dan Geylang di Singapura. Meskipun kawasan – kawasan prostitusi lama telah melakukan perpindahan, tapi masih ada sisa – sisa dari beberapa kawasan prostitusi – prostitusi pertama yang dijelaskan diatas masih tetap eksis sampai sekarang, meskipun kalah terkenal ketimbang dolly.